Selasa, 21 September 2010

PENGEMBANGAN KATOLISITAS ORANG MUDA KATOLIK DALAM KEHIDUPAN BERPOLITIK

BAB I

PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Masalah

Pada masa kini orang dewasa mulai menyadari pentingnya peranan orang muda Katolik dalam membangun kehidupan menggereja dan masyarakat yang lebih baik. Orang muda Katolik sering dijuluki sebagai bunga Gereja dan harapan bangsa, sebab di pundak orang muda Katolik juga terpatri berjuta harapan semua pihak baik keluarga, Gereja maupun bangsa dan negara. Masa muda merupakan masa yang penuh tantangan sejalan dengan siapa orang muda Katolik, bagaimana dengan perkembangan imannya sebagai anggota Gereja Katolik dan fungsi mereka dalam hidup menggereja dan berbangsa.

Iman orang muda Katolik kepada Allah Tritunggal sedang berada dalam tahap peralihan yakni dari iman yang diwariskan oleh orang tua menuju kedewasaan iman Katolik yang sejati. Hidup Katolisitas orang muda Katolik membutuhkan refleksi dan perjuangan, sebab menjadi anggota Gereja Katolik tidak hanya sekedar Katolik, tetapi harus terlebih dahulu beriman kepada Allah Tritunggal dan selalu berusaha merefklesikan atau menghayati-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Iman Katolik tidak bersifat statis, tetapi dinamis dan selalu berkembang. Kemampuan berefleksi akan iman dalam Yesus Kristus, membuahkan hasil yang semakin lama semakin dewasa dalam iman Katolik.

Namun kenyataannya tidak demikian, sebab kekatolikan orang muda Katolik mayoritas atas warisan dari orang tua. Sejak masih bayi orang muda Katolik sudah dibaptis dan menerima agamanya tanpa sikap kritis, sehingga belum sepenuhnya mampu mempertanggungjawabkan identitasnya sebagai anggota Gereja Katolik. Di bidang katekese belum menghasilkan buah seperti yang diharapkan oleh Gereja. Oleh karena itu, di bidang katekese perlu ditingkatkan dan lebih aktif dalam menanamkan nilai-nilai Katolisitas yang kontekstual, melalui pengkaderan orang muda Katolik menjadi bagian dalam tugas pelayanan Gereja di tengah dunia. Orang muda Katolik saat ini hendaknya mempersiapkan diri menjadi bagian dalam perjuangan bangsa melalui keaktifan dalam kehidupan berpolitik.

Keluarga-keluarga Katolik sekarang ini hanya membentuk orang muda Katolik, sebagai generasi yang hanya menerima keadaan iman Katolik yang kurang dipertanggungjawabkan dan menerima kehidupan sosial dan politik yang sulit, bukan berjuang untuk mengatasinya. Akibatnya, banyak orang muda Katolik mudah pindah iman dan agama, kerena belum menemukan eksistensi imannya dalam komunitas Katolik. Orang muda Katolik kurang dipersiapkan secara matang untuk menghadapi kerasnya kehidupan, malah lebih cenderung tenggelam pada urusan pribadi dalam mengejar kesenagan untuk diri sendiri, sehingga kehilangan daya kritis dan bahkan rasa kepedulian terhadap nasib bangsa. Pembiasan politik tidak lagi demi kepentingan bersama, melainkan kepentingan individu atau kelompok. Orang muda Katolik sekarang ini tidak mau bersusah payah tetapi ingin bersenang-senang untuk menikmati hasil kerja keras orang tua. Kegiatan sekolah, kuliah, kerja dan jalan-jalan ke mall atau aktivitas fun yang artinya, kegembiraan sudah membuat orang muda Katolik merasa cukup. Kemungkinan yang ada kurang dilihat atau kalau pun dilihat kurang dimanfaatkan seperti mengikuti perkumpulan Mudika, kegiatan Legio Maria, persekutuan karismatik Katolik, kegiatan PMKRI, Karang Taruna, WKRI, KMK dan lain sebagainya untuk mengembangkan hidup Katolisitasnya.

Sebagai umat Katolik yang sejati, dituntut keaktifan dalam mengembangkan hidup Katolisitasnya agar lebih realistis sebagai pengikut Yesus Kristus. Dalam hidup beriman sebagian besar orang muda Katolik bersikap acuh tak acuh dan bahkan menjadi korban dari penyakit sosial termasuk juga yang dikenal dengan ateisme moderen. Pengaruh negatif tersebut, orang muda Katolik menganggap bahwa agama hanya suatu formalitas, sehingga kurang berminat membaca dan merenungkan Kitab Suci, mengikuti perayaan ekaristi kurang serius dan kurangnya pengetahuan agama Katolik dan bahkan penghayatan imannya pun sangat dangkal.

Bicara tentang politik orang muda Katolik lebih cenderung beranggapan bahwa politik itu kotor, sehingga merasa segan untuk berdekatan dengan masalah politik. Kalau dicermati dengan baik, sebagian besar orang muda Katolik hampir tidak mau peduli terhadap kehidupan berpolitik, bahkan menganggap urusan politik sebagai sesuatu yang tabu, padahal dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar ditentukan oleh kebijakan politik.

Dengan problematika di atas, penulis menyadari betapa pentingnya peran orang muda Katolik sekarang ini untuk membangun dan memperjuangkan kepentingan hidup bersama khususnya di bidang politik, meskipun ada sikap apatis tetapi memcoba untuk berusaha mengimbau orang muda Katolik untuk menjadi bagian di bidang politik. Oleh karena itu, penulis ingin menggali potensi-potensi orang muda Katolik sebagai harapan masa depan Gereja dan bangsa. Dalam hal ini juga, penulis ingin mendalami lebih spesifik tentang politik dalam perspektif Gereja Katolik, sebab sebagai petugas pastoral tidak boleh buta tentang politik. Di bidang politik merupakan salah satu lahan untuk berpastoral, tidak hanya secara intern tetapi juga ekstern. Oleh sebab itu, dalam penulisan skripsi ini, penulis memilih sebuah judul yakni: PENGEMBANGAN KATOLISITAS ORANG MUDA KATOLIK DALAM KEHIDUPAN BERPOLITIK.

1.2 Perumusan Masalah dan Pembatasan Tema

Orang muda Katolik nampaknya belum sepenuhnya menghayati imannya sebagai umat Katolik, sebab dasar iman mereka masih warisan oleh orang tua, dan bahkan mempertanggung jawabkan imannya pun dalam kehidupan sehari-hari masih mudah goyah. Sekalipun mereka sudah dibaptis tetapi iman mereka kepada Allah Tritunggal masih dangkal. Kenyataannya iman mereka masih dapat dipengaruhi oleh iman orang lain dan bahkan mudah pindah iman dan agama. Orang muda Katolik belum sepenuhnya mengerti kekhasan ajaran iman Gereja Katolik.

Sebagai warga masyarakat majemuk, orang muda Katolik mesti mau hidup membaur dan berkarya bukan hanya bagi Gereja Katolik, tetapi juga bagi masyarakat, sebab orang muda Katolik juga adalah warga negara Republik Indonesia. Seperti termaktub dalam surat Yakobus: ”Apakah gunanya, jika seseorang menyatakan bahwa ia mempunyai iman padahal tidak mempunyai perbuatan” (Yak 2:14). Semangat hidup Katolisitas tidak hanya diterima, direfleksikan, dipelajari, dihayati tetapi harus dikonkretkan dalam kehidupan sehari-hari, melalui sifat dan tingkah laku setiap anggota Gereja. Salah satu perwujudan hidup katolisitas orang muda Katolik adalah keterlibatan aktif dan menjadi bagian hidup berpolitik. Seorang politikus Katolik dan penggiat orang muda Katolik dalam berpolitik harus dengan sungguh-sungguh menemukan dan memiliki makna dalam hidup bernegara. Romo Dr. Eddy Kristiyanto, OFM menegaskan bahwa:

Semua agamawan sadar, bahwa Allah itu politis. Jika orang mengeluarkan dari kitab-kitab suci agama kandungan dan makna politis, maka akan ditemukan bahwa ”begitu banyak lobang” dalam kitab suci. Kandungan dan makna politis di sini adalah sikap Diri Allah yang berada di samping, mendampingi dan menyertai. Mengingat Allah itu politis di hadapan kenyataan ciptaan-Nya, maka segenap ciptaan (terutama manusia, yang adalah citra Allah sendiri), tidak ada pilihan lain. Manusia perlu bersikap politis. Tegasnya, bersikap politis merupakan sakramen, yakni tanda dan sarana yang mengantar pada pembebasan dan peyelamatan.

Secara tegas politik diartikan sebagai pelayanan dan perwujudan kasih Allah untuk mengusahakan kesejahteraan bersama dengan mengikuti dan meneladani Yesus Kristus yang memiliki kepedulian dan semangat politik, terutama politik solidaritas bagi mereka yang lemah, miskin dan tersingkir untuk menghadirkan kesejahteraan dan keselamatan. Setiap orang muda Katolik dipanggil untuk membangun Gereja Katolik dan masyarakat, sebagaimana yang pernah diseruhkan dalam semangat moral oleh almarhum Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ ”menjadi seratus persen Katolik dan seratus persen warga negara Indonesia” tetap relevan direnungkan. Dalam hal ini merupakan suatu pelayanan yang total, baik di lingkungan Gereja Katolik maupun di wilayah negara. Orang muda Katolik mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan Gereja dan tanah airnya.

Keterlibatan orang muda Katolik dalam kehidupan berpolitik merupakan perwujudan iman mereka sebagaimana misi Yesus ”Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20: 28). Oleh karena itu, orang muda Katolik hendaknya menjadi bagian dalam suatu organisasi yang ada baik dalam komunitas Katolik maupun dalam masyarakat umum untuk dijadikan sebagai wadah dan kancah pembelajaran. Orang muda Katolik harus mau dan mampu membangun komunikasi dengan orang dewasa yang sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman berpolitik.

Dengan mengikuti dan menjadi bagian dalam suatu organisasi, di situ orang muda Katolik dapat ikut membangun persatuan sebagai satu bangsa dan tanah air, sehingga pengembangan Katolisitas orang muda Katolik tidak hanya di lingkungan Gereja Katolik, tetapi juga di wilayah sosial dan politik. Dengan demikian, orang muda Katolik mau dan mampu menjadi saksi Kristus di tengah-tengah masyarakat majemuk. Dalam pembahasan sikripsi ini, penulis dapat membatasi tema lebih terfokus pada pengembangan Katolisitas orang muda Katolik yang berhubungan dengan peran mereka dalam hidup berpolitik. Menjadi orang muda Katolik yang integral mereka harus memenuhi tiga unsur yaitu Muda, Katolik, dan Indonesia. Ketiga unsur itu harus integral, utuh, ada dalam diri orang muda Katolik. Orang muda Katolik harus menjadi sepenuh-penuhnya beriman Katolik dalam bimbingan Roh Kudus dan seutuh-utuhnya berjiwa Indonesia pribumi.

1.3 Tujuan Penulisan

Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan akademik dalam rangka mengikuti Ujian Negara Program Sarjana Strata Satu (S-1) di Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura Keuskupan Agung Medan. Skripsi ini juga bertujuan untuk menambah wawasan penulis dalam menggagas pengembangan Katolisitas orang muda Katolik dalam kehidupan berpolitik. Dengan demikian, penulis semakin mengenal lebih mendalam tentang politik. Dengan kehadiran skripsi ini dihadapan orang muda Katolik dan pembaca, semakin termotivasi dan bermanfaat serta sebagai dasar untuk berperan aktif dalam negara yang sebaik-baiknya Pro Ecclesia et Patria yang artinya demi Gereja dan tanah air. Dalam berpolitik orang muda Katolik tetap menjaga moralitas sebagai warga Gereja Katolik. Bekerja dengan jujur, adil dan bertanggung jawab serta memiliki rasa kepedulian terhadap masyarakat yang membutuhkan pelayanan, terutama preferential option for the poor. Hal ini merupakan sikap dasar Gereja dalam mengembangkan tekad untuk memilih mendahulukan kaum miskin.

1.4 Metode Penulisan

Karya ilmiah ini ditulis dengan metode penelitian kepustakaan (Library Research). Penulis mengumpulkan dari pelbagai buku yang bernuansa ajaran iman Gereja katolik dan yang ada kaitannya dengan kehidupan politik Indonesia. Ide-ide dasar penulis dituangkan dalam tema-tema dasar yang dijabarkan dalam beberapa sub pokok bahasan dan menguraikannya secara deskriptif kritis. Penjelasan dari tema dan sub pokok bahasan diusahakan sedemikian rupa dengan menggunakan bahasa umum dan sederhana, dengan harapan agar dapat memudahkan penulis dan pembaca untuk mencerna dan memahaminya.

1.5 Sistematika Penyajian

Skripsi ini akan diuraikan dalam lima pokok pembahasan yang terdiri dari:

Bab I pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah penulisan, perumusan masalah dan pembatasan tema, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penyajian.
Bab II selayang pandang tentang orang muda Katolik. Pada bab ini penulis akan menguraikan pengertian orang muda Katolik, problematika orang muda Katolik, kebutuhan dasar orang muda Katolik dan potensi orang muda Katolik dalam pengembangan Katolisitasnya untuk berpolitik.

Bab III, politik dalam perspektif Gereja Katolik. Pada bab ini penulis akan menguraikan pengertian politik, perubahan konstelasi politik dan keterlibatan nyata, dasar panggilan berpolitik, tanggung jawab sebagai warga negara, pedoman orang muda Katolik dalam berpolitik, visi politik Gereja katolik dan dikahiri dengan kesimpulan.

Bab IV merupakan pokok pembahasan utama dalam skripsi ini yakni pengembangan Katolisitas orang muda Katolik dalam kehidupan berpolitik. Pada bab ini penulis akan menguraikan pengertian Katolisitas, kaderisasi orang muda Katolik untuk berpolitik, pembinaan orang muda Katolik, Ajaran Sosial Gereja dan diakhiri dengan kesimpulan.

Bab V penutup, pada bab ini berisi tentang kesimpulan umum dan saran-saran dari penulis.

APA ITU FILSAFAT?

BAB I

APA ITU FILSAFAT

1. Pengertian Filsafat
Apa itu filsafat? Pertanyaan itu tidak hanya pada era ini diajukan tetapi sudah sejak kurang lebih dari dua puluh abad yang silam. Tidak mudah untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu sebagai upaya untuk menjelaskan apakah sesungguhnya filsafat itu.
Kenyataan sampai sekarang ini, masih banyak orang yang mengira bahwa filsafat itu adalah sesuatu yang serba rahasia, mistis dan aneh. Ada juga yang mengira bahwa filsafat itu adalah suatu kombinasi antara astrologi, psikologi dan teologi. Sementara itu ada yang menyangka bahwa filsafat adalah induk segala ilmu pengetahuan, maka dianggap sebagai ilmu yang paling istimewa, ilmu yang menduduki tempat yang paling tinggi di antara seluruh ilmu pengetahuan yang ada. Oleh karena itu filsafat hanya dapat dipahami oleh orang-orang jenius dan yang memiliki kemampuan intelektual luar biasa. Tetapi ada juga yang memandang filsafat sebagai ilmu murahan dan tak berharga untuk dipelajari. Masih banyak deretan kesalahpahaman dalam mengartikan apa itu filsafat.
Untuk memahami dan memasuki dunia filsafat, kita dapat dibantu dengan suatu pertanyaan ilustratif: “Berapa jeniskah manusia yang terdapat dalam kehidupan ini berdasarkan pengetahuannya?” Filsafat menjawab: 

Ada orang yang tahu di dalam ke-tahu-annya
Ada orang yang tahu di dalam ketidak-tahu-annya
Ada orang yang tidak tahu di dalam ke-tahu-annya
Ada orang yang tidak tahu di dalam ketidak-tahu-annya

Dari segi etimologis, istilah filsafat yang merupakan padanan kata falsafah (Arab) dan philosophy (Inggris) berasal dari bahasa Yunani philosophia yang terdiri dari kata philos yang artinya kekasih atau sahabat, dan kata sophia yang artinya kebijaksanaan atau kearifan atau juga pengetahuan. Jadi secara harafiah, philosophia berarti yang mencintai kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan.
Menurut kesaksian tradisi kuno, istilah philosophia digunakan pertama kali oleh Pythagoras (sekitar abad ke-6 Sb.M), sekalipun dia tidak disebut sebagai filsuf pertama. Filsuf pertama adalah Thales, Anaximandros dan Anaximenes. Setelah mempergunakan istilah itu, pertanyaan dilontarkan kepada Pythagoras, apakah dia seorang yang bijaksana? Dengan rendah hati dia mengatakan bahwa dia hanyalah seorang yang mencintai pengetahuan (dalam arti tertentu filsuf).
Untuk memahami apa sebenarnya filsafat itu, perlulah diperhatikan beberapa konsep dan definisi yang diberikan oleh para filsuf. Ada banyak konsep dan definisi filsafat dari para filsuf, semuanya berbeda-beda. Oleh karena itu dapat dikatakan, definisi filsafat itu sebanyak filsuf. Berikut ini akan diketengahkan beberapa konsep dan definisi yang memadai untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang apakah filsafat itu.
Para filsuf pra-Sokratik (± abad 5 SbM) antara lain Thales, Anaximandros dan Anaximenes mempertanyakan tentang asal mula alam dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos atau rasio tanpa menggunakan mitos. Oleh sebab itu bagi mereka filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakekat alam dan realitas ada dengan mengandalkan akal budi.
Plato berpandangan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Dia juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
Aristoteles adalah murid Plato. Dia memiliki beberapa konsep mengenai filsafat. Pertama, dia mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas ada. Kedua, dia juga mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari sesuatu yang ada sebagaimana adanya (being as being).
René Descartes adalah seorang filsuf Prancis yang terkenal dengan teori cogito ergo sum artinya aku berpikir maka aku ada. Dia mengatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.
Menurut William James (filsuf Amerika), filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang. Dan masih banyak filsuf yang membuat konsep dan definisi filsafat.
Konsep dan definisi yang begitu banyak itu tidak perlu membingungkan bahkan sebaliknya justru menunjukkan betapa luasnya dunia filsafat itu sehingga tidak terbatas oleh sejumlah batasan yang akan mempersempit ruang gerak filsafat. Perbedaan-perbedaan itu sendiri merupakan suatu keharusan bagi filsafat, artinya kesamaan dan kesatuan pemikiran serta pandangan justru akan mengurangi cakupan filsafat yang sesungguhnya.

2. Asal Mula Terjadinya Filsafat
Ada empat hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya dan keraguan. 

2.1 Ketakjuban
Salah satu hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat adalah kekaguman, keheranan dan ketakjuban. Aristoteles mengatakan bahwa karena ketakjuban manusia mulai berfilsafat. Pada awalnya manusia takjub memandang benda-benda aneh di sekitarnya, yang lama kelamaan ketakjuban itu terarah pada hal-hal yang lebih luas dan besar, seperti perubahan dan peredaran bulan, matahari, bintang-bintang dan asal mula alam semesta.
Ketakjuban hanya mungkin dirasakan oleh manusia, makhluk yang berakal budi, yang dengannya manusia dimungkinkan merasa takjub dan bertanya tentang obyek yang ada. Itulah sebabnya pengamatan terhadap bintang-bintang, matahari, dan langit merangsang manusia untuk melakukan penelitian. Penelitian terhadap apa yang diamati dalam memahami hakekatnya itulah yang melahirkan filsafat. Penelitian yang dilakukan tidak hanya dengan mata tetapi dengan akal budi. Pengamatan akal budi tidak terbatas hanya pada obyek-obyek yang dapat dilihat dan diraba tetapi juga sesuatu yang dapat dilihat sekalipun tidak dapat diraba, bahkan juga yang tidak dapat dilihat dan diraba. Oleh karena itu Immanuel Kant seorang filsuf terkenal tidak hanya merasa takjub terhadap bintang-bintang di langit tetapi juga terpukau memandang hukum moral dalam hatinya.

2.2 Ketidakpuasan
Sebelum filsafat lahir, berbagai mitos telah lahir dan memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Mitos-mitos tersebut mencoba menjelaskan asal mula dan peristiwa yang terjadi di alam semesta serta sifat-sifat peristiwa itu. Akan tetapi penjelasan dan keterangan yang diberikan oleh mitos itu semakin lama semakin tidak memuaskan manusia. Ketidakpuasan itu mendorong manusia terus menerus mencari penjelasan dan keterangan yang lebih pasti dan meyakinkan. Ketidakpuasan itu membuat manusia berupaya melepaskan segala sesuatu yang tidak dapat memuaskan, lalu ia berupaya menemukan apa yang dapat memuaskannya.
Dalam mencari dan menemukan penjelasan dan keterangan yang lebih memuaskan itu, akal budi semakin berperan. Akhirnya mitos semakin tergeser peranannya, dan lahirlah filsafat.

2.3 Hasrat Bertanya
Ketakjuban manusia telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan dan ketidakpuasan manusia membuat pertanyaan-pertanyaan itu tak kunjung habis untuk dijawab. Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat kehidupan serta pengetahuan dapat berkembang. Pertanyaanlah yang membuat manusia melakukan pengamatan, penelitian dan penyelidikan yang kemudian melahirkan suatu penemuan baru.
Hasrat bertanya membuat manusia mempertanyakan segalanya. Pertanyaan-pertanyaan itu tidak hanya terarah pada wujud sesuatu melainkan juga pada dasar dan hakekatnya. Inilah yang menjadi salah satu ciri khas filsafat. Filsafat selalu mempertanyakan sesuatu sampai ke akar-akarnya dan universal. 

2.4 Keraguan
Sifat manusia sebagai makhluk bertanya didasarkan pada suatu keraguan atau ketidakpastian dan kebingungan atas apa yang telah diketahuinya. Oleh karena itu, ketika manusia bertanya, itu berarti bahwa apa yang diketahuinya masih meragukan. Hal itu merangsang terus menerus bertanya yang pada akhirnya menggiring manusia untuk berfilsafat.

3. Sifat Dasar Filsafat
3.1 Berpikir Radikal
Berfilsat berarti berpikir radikal. Maka filsuf adalah pemikir yang radikal. Karena berpikir radikal itu, maka seorang filsuf tidak pernah terpaku pada fenomena tertentu dari sesuatu yang ada. Ia tidak pernah berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Keradikalan berpikir itu akan mendorong filsuf untuk memukan akar dari segala sesuatu. Itu artinya ia juga berpikir dan berupaya untuk mencapai akar pengetahuan tentang dirinya sendiri.
Dengan berpikir radikal, filsafat berupaya memahami segala sesuatu yang tumbuh di atas akar itu. Dengan menemukan akar suatu permasalahan, maka permasalahan itu dapat dimengerti sebagaimana mestinya.
Berpikir radikal tidak berarti mengubah, membuang atau mengjungkirbalikkan segala sesuatu, melainkan berpikir secara mendalam untuk mencapai akar persoalan yang dipermasalahkan. Berpikir radikal justru hendak memperjelas realitas, bukan semakin mengaburkannya. 

3.2 Mencari Asas
Filsafat mengacu pada bagian keseluruhan dari suatu realitas. Dalam memandang keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas. Seorang filsuf akan selalu berupaya untuk menemukan asas yang paling hakiki dari realitas.
Dunia Yunani yang sangat kental dengan filsafat alamnya senantiasa mengacu pada suatu pertanyaan: Apa asas dari keanekaragaman realitas di alam semesta ini? Mereka mencoba menjawab pertanyaan itu dengan beranekaragam argumentasi rasional. Thales mengatakan bahwa asas pertama alam semesta itu adalah air. Anaximandros mengatakan yang tak terbatas. Anaximenes mengatakan udara. Heraklitos mengatakan api adalah asas realitas alam semesta. Dan Empedokles mencoba memadukan empat unsur itu sebagai asas semesta alam ini yaitu api, udara, tanah dan air.
Mencari asas pertama berarti juga berupaya menemukan sesuatu yang menjadi esensi realitas. Dengan menemukan esensi suatu realitas, maka realitas itu dapat diketahui dengan pasti dan menjadi jelas. Mencari asas adalah salah satu sifat dasar filsafat. 

3.3 Mencari Kebenaran
Filsuf adalah pencari kebenaran. Kebenaran yang dicarinya adalah kebenaran yang hakiki tentang seluruh dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti mencari kebenaran tentang segala sesuatu.
Kebenaran yang dicari oleh filsafat adalah kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka untuk dipersoalkan kembali dan dapat diuji demi memperoleh kebenaran yang lebih pasti. Begitulah seterusnya alur berfilsafat. Dengan demikian, kebenaran filsafat tidak pernah mutlak dan final melainkan terus bergerak dari suatu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti. 

3.4 Mencari Kejelasan
Salah satu penyebab lahirnya filsafat adalah keraguan. Untuk menghilangkan keraguan diperlukan kejelasan. Oleh karena itu berfilsafat berarti mengejar kejelasan (clarity of understanding).
Mengejar kejelasan berarti harus berjuang dengan keras untuk menyingkirkan segala sesuatu yang tidak jelas, yang kabur, yang gelap, bahkan juga yang serba rahasia dan penuh teka-teki. Berfilsafat sesungguhnya merupakan suatu perjuangan untuk mendapatkan kejelasan pengertian dan jelelasan seluruh realitas. Perjuangan mencari kejelasan itu adalah salah satu sifat dasar filsafat.

3.5 Berpikir Rasional
Berpikir secara radikal, mencari asas, kebenaran, dan kejelasan tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa berpikir secara rasional. Berpikir secara rasional berarti berpikir secara logis, sistematis dan kritis. Berpikir logis tidak hanya sekedar mencapai pengertian-pengertian yang dapat diterima akal sehat, melainkan agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis-premis yang dipergunakan. Sedangkan pemikiran sistematis berarti rangkaian pemikiran yang berhubungan satu sama lain secara logis. Dan berpikir kritis berarti mengobarkan kemauan untuk terus menerus mengevaluasi argument-argumen yang mengklaim diri benar. Seorang filsuf tidak akan mudah berpegang pada suatu kebenaran sebelum kebenaran itu dipersoalkan kembali dan dapat diuji terlebih dahulu. Jadi berpikir logis, sistematis dan kritis adalah ciri utama berpikir rasional. Berpikir rasional adalah salah satu sifat dasar filsafat.

4. Peranan Filsafat
Berdasarkan sebab-sebab lahirnya filsafat, maka dapat dilihat peranan filsafat dalam sejarah pemikiran manusia. 

4.1 Filsafat sebagai Pendobrak
Sejarah pengetahuan telah membuktikan bahwa intelektualitas manusia telah lama tertawan oleh penjara tradisi dan kebiasaan. Manusia telah lama hidup dalam alam pikiran mistik yang penuh dengan hal-hal yang serba rahasia yang teraktualisasi dalam mitos. Akibat cara berpikir mistis ini manusia menerima begitu saja segala muatan dongeng dan takhyul tanpa mempersoalkannya lebih lanjut. Manusia telah dirasuki dengan cara berpikir bahwa dongeng dan takhyul adalah warisan yang tidak terganggu-gugat, sehingga pasti benar dan tak boleh diganggu-gugat pula.
Oleh sebab itu, orang-orang Yunani yang terkenal dengan rasionalitas yang luar biasa, juga percaya kepada dewa-dewi yang memiliki kekuasaan yang sejajar dengan kekuasaan Allah. Tetapi mereka juga percaya bahwa dewa-dewi itu saling menipu, licik, sering memberontak dan kadang kala seperti seorang anak nakal.
Keadaan seperti itu berlangsung cukup lama. Kehadiran filsafat telah mendobrak pintu-pintu dan tembok-tembok tradisi yang begitu sakral dan selama itu tidak boleh diganggu-gugat. Proses pendobrakan itu terjadi dalam waktu yang cukup panjang. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa filsafat benar-benar telah berperan sebagai pendobrak yang mencengangkan.

4.2 Filsafat sebagai Pembebas
Filsafat tidak hanya mendobrak pintu penjara tradisi dan kebiasaan yang penuh dengan berbagai mitos, melainkan membawa manusia keluar dari penjara itu. Filsafat membebaskan manusia dari ketidaktahuan dan kebodohannya. Filsafat juga membebaskan manusia dari belenggu cara berpikir yang mistis dan mitis.
Filsafat telah, sedang dan akan selalu terus berupaya membebaskan manusia dari kekurangan dan kemiskinan pengetahuan yang menyebabkan manusia menjadi picik dan dangkal. Filsafat juga membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak teratur dan tidak jernih. Filsafat juga membebaskan manusia dari cara berpikir yang tidak kritis yang membuat manusia mudah menerima kebenaran-kebenaran semu yang menyesatkan. Jadi filsafat membebaskan manusia dari segala penjara yang hendak mempersempit ruang gerak akal budi manusia. 

4.3 Filsafat sebagai Pembimbing
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat sanggup melaksanakan peranannya sebagai pembimbing. Filsafat membimbing manusia ke arah cara berpikir rasional, luas dan mendalam, yakni cara berpikir secara universal sambil berupaya mencapai akar dan menemukan esensi sesuatu. Filsafat membimbing manusia untuk berpikir secara sistematis dan logis. Filsafat juga membimbing manusia dari cara berpikir yang tidak utuh dan begitu fragmentaris ke arah manusia untuk berpikir secara integral dan koheren.